Menggunjing Dalam Pandangan Islam

Muqoddimah

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatu.

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menyempurnakan untuk kita agama islam ini dan telah mencukupan untuk kita nikmat-Nya, serta meridhoi Islam sebagai agama kita. Shalawat serta salam sejahtera smeoga tetap terlimpah kepada Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa sallam.



Ghibah (Menggunjing) 

Dalam banyak pertemuan di majelis, sering kali yang dijadikan hidangannya adalah menggunjing umat Islam. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang hal tersebut dan menyeru agar segenap hambyanya menjauhinya. Allah menggambarkan dan mengidentikkan ghibah dengan sesuatu yang maat ktr dan menjjikkan. Allah Ta'ala berfirman,

"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah s eorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik dengannya." (Qs. Al Hujurat: 12)

Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang Muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Wajib bagi orang yang hadir dalam majelis yang sedang menggunjingkan orang lain, untuk mencegah kemungkaran dan membela saudaranya yang digunjingkan. Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam menganjurkan hal demikian, sebagaimana dalam sabdanya,

"Barangsiapa menlak (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada Hari Kiamat Allah akan menghindarkan api neraka dari wajahnya." (HR. Ahmad, dalam Shahih al-Jami' no 6238)

Nah, lantas ada beberapa faedah penting yang harus kita ketahui. Yaitu ghibah diperbolehkan dalam enam tempat.



Tempat dibolehkannya ghibah 

Adapun enam tempat yang diperbolehkannya orang untuk ghibah adalah

  1. Orang yangn terzhalimi (teraniaya) boleh mengadukan kezhaliman terhadap dirinya kepada pemerintah atau hakim.
  2. Apabila bermaksud meminta pertolongan untuk meruba kemungkaran.
  3. Ketika meminta fatwa, seperti mengatakan "Aku telah dizhalimi leh Fulan dengan begini dan begitu ..." 
  4. Untuk memperingatkan dan menasehati kaum Muslimin agar tidak berbuat keburukan, (dengan syarat bertujuan memberikan nasehat).
  5. Orang yang digunjing (memang) seorang yang terang-terangan melakukan perbuatan fasik dan bid'ah.
  6. Untuk memperkenalkan seseorang; seperti dikenal dengan suatu gelar al-A'masy (yang lemah penglihatannya), atau al-A'raj (si pincang), dan al-A'ma (si buta); tetapi haram jika yang dimaksud adalah mencela kekurangannya.
  7. Kita dapat melakukan ghibah yang diperbolehkan diatas, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu
  8. Ikhlas karena Allah dalam niat.
  9. Sebisa mungkin tidak menyebutkan nama orang tertentu secara langsung.
  10. Hendaklah Anda menyebutkan tentang saudara Anda (seagama) dengan sesuatu yang mubah pada dirinya.
  11. Harus menekankan kembali (dengan yakin) bahwa ghibah yang dilakukan tersebut tidak akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada faedah yang ada. 



Pemicu Ghibah

Adapun beberapa hal yang dapat memicu munculnya ghibah, diantaranya adalah

  1. Melampiaskan rasa marah.
  2. Ingin menyelarasi rekan-rekan dan berbasa basi kepada teman.
  3. Ingin mengangkat dirinya dengan merendahkan orang lain.
  4. Main-main dan bersenda gurau.
  5. Iri dan dengki.
  6. Mengatakan sesuatu yang bersumber dari seseorang, lalu dia ingin berlepas diri darinya.
  7. Kurang kerjaan karena banyaknya waktu kosong dari kegiatan.
  8. Usaha mendekatkan diri kepada para pemilik proyek pekerjaan adn pangkat.


Hal yang sering dianggap bukan ghibah, padahal ghibah

Adapun beberapa hal yang sering dianggap bukanlah sebuah ghibah, padahal sejatinya itu adalah ghibah, diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Fulan bisa jadi melakukan ghibah, dan jika ada yang mengingkarinya, dia akan berkata "Saya siap mengatakannya didepannya".
  2. Ucapan seseorang dihadapan sekelompok orang ketika menyebutkan tentang seseorang lainnya, "Aku berlindung kepada Allah dari sifat kurang malu", atau "Si fulan, semoga Allah memaafkannya".
  3. Perkataan seseorang "Fulan diuji dengan demikian".
  4. Menganggap enteng dalam menggunjing orang yang melakukan maksiat.



Khatimah

Wallahu'alam bissawab

Sekian yang kami dapat sampaikan, semoga bermanfaat untuk saya dan kita semua sebagai umat muslim. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu pengetahuan yang mutlak kepada saya dan kita semua serta mengampuni dosa-dosa yang telah ktia lakukan selama ini, serta selalu diberi hidayah agar saya dan kita semua bisa menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam terbebas dari dosa-dosa.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatu.


Referensi

Al-Qur'anul Kariim
Muharramat Istahana Biha an-Nas Yajib al-HJadzaru Minha, Muhammad Shalih al-Munajjid, Penerjemah Ainul Haris bin Umar Arifin, Lc., Cetakan IXI, 1433 H.
Muntaqa al-Adab asy-Syar'iyyah , Majid Sa'ud al-Ausyan, Penerjemah Abdurrahman Nuryaman, Cetakan I, 1435 H.

Perselisihan di Kalangan Penganut Islam


Muqoddimah

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatu.

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menyempurnakan untuk kita agama islam ini dan telah mencukupan untuk kita nikmat-Nya, serta meridhoi Islam sebagai agama kita. Shalawat serta salam sejahtera smeoga tetap terlimpah kepada Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa sallam.



Fatwa Tentang Perselisihan dan Perpecahan 

Dalam sebuah kesempatan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanyai, "Bagaimana prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah tentang persoalan yang diperselisihkan? Bagaimana standar untuk menyikapi persoalan ini?" 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab :

Prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah mengenai persoalan yang diperselisihkan adalah apabila perselisihan itu bersumber dari ijtihad, dan persoalan itu menyangkut hal yang diperbolehkan berijtihad, maka sebagian dari m ereka bersikap toleran terhadap sebagian yang lain yang berbeda pendapat. Mereka menjadikan perselisihan ini sebagai alasan untuk berpecah belah dan bermusuhan. Orang yang memusuhi saya karena tuntutan dalil, maka pada hakikatnya ia tidak menyelisihi saya. Karena manhaj yang digunakan sama, apakah saya menyelisihnya karena tuntutan dalil ataukah dia menyelisihi saya karena tuntutan dalil. Jadi, kita sama. Perselisihan pendadpat ini masih terus terjadi sejak zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam hingga hari ini.

Adapun persoalan yang tidak boleh diperselisihkan adalah hal-hal yang menyelisishi pandangan para sahabat dan tabi''in. Persoalan-persoalan aqidah yang sebagain besar manusia tersesat darinya dan tidak terjadi perselisihan mengenainya kecuali setelah berlalunya generasi-generasi utama, yakni perselisihan itu tidak tersebar luas kecuali sesudah generasi sahabat. Tetapi, perlu diketahui, bila saya mengatakan sesudah generasi sahabat, bukan berarti semua sahabat harus sudah wafat. Kita menyebut generasi selama kebanyakan generasi itu masih hidup.

Karena kalian mengetahui, bahwa Allah Ta'ala telah menjadikan ajal manusia itu sususl menyusul. Misalnya bila kita mengatakan, 'sesungguhnya generasi sahabat tidak berakhir dsehingga tidak ada seorang sahabatpun yang hidup', berarti kita telah menyebrangi banyak masa tabi'in. Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan "Suatu generasi dinilai telah lewat apabila kebanyakan orang yang menjadi bagian generasi itu telah lewat". Misalnya, bila kebanyakan sahabat telah wafat, sehingga yang tinggal hanya puluhan atau ratusan sahabat saja, maka berarti zaman mereka telah berakhir. Demikian pula masa para taibi'in. Juga tabi'ut tabi'in.

Jadi, generasi-generasi utama telah lewat, tanpa ada perselisihan aqidah sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Orang-orang yang menyelisihi kita dalam persoalan aqidah, maka mereka itu menyelisihi paham aqidah para sahabat dan tabi'in. Mereka itu harus diingkari dan perselisihan mereka tidak bisa diterima. 

Adapun dalam persoalan-persoalan yang memang telah diperselisihkan sejak zaman sahabat, dan dalam persoalan tersebut dibolehkan ijtihad, maka perselisihan semacam ini pasti tetap ada. Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam bersabda "Jika seorang hakim memutuskan hukum, lantas ia berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala. Tapi apabila ia berijtihad, lantas keliru, maka ia mendapat satu pahala".

Inilah standarnya. Jika ada orang mengatakan, "Apakah perselisihan menyangkut sifat-sifat Allah Ta'ala termasuk perselisihan yang dibolehkan?" Maka jawbannya 'tidak'. Karena perselisihan ini sudah berada diluar manhaj para sahabat. Para sahabat tidak ada yang memperselisihkan persoalan sifat-sifat Allah. Semua mengakui bahwa sifat Allah itu benar adanya sesuai dengan hakikatnya, tanpa menyerupakan sifat-sifat itu. Bukti bahwa mereka mengakui hal itu adalah tidak adanya riwayat yang menceritakan adanya perselisihan diantara mereka mengenai penafsiran ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbicara tentang sifat-sifat Allah. Jika tidak terdapat riwayat yang menceritakan perselisihan mereka mengenai penafsiran ayat-ayat hadits-hadits tersebut, maka ini berarti mereka meyakininya, karena Al Qur'an menggunakan bahsa Arab dan As Sunnah juga berbahasa Arab, sedangkan para sahabat memahami bahasa Arab.

Jika tidak ada riwayat yang menceritakan dari mereka bahwa mereka menyelisihi zhohir makna ayat atau hadits, maka kita tahu bahwa mereka meyakini zhohir ayat dan hadits tersebut. Karena itu, kita mengingkari siapa saja yang memiliki pendapat yang bertentangan dengan madzhab para Salaf persoalan sifat-sfat Allah atau katakanlah dalam seluruh persoalan iman. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun buruk. Setiap orang yang menyelisihi manhaj para sahabat dalam keenam persoalan ini, maka kita akan mengingkarinya dan tidak menerimanya.

Perselisihan pendapat akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan yang diperselisihkan itu telah dikaji secara mendalam.


Khatimah

Wallahu'alam bissawab
Sekian yang kami dapat sampaikan, semoga bermanfaat untuk saya dan kita semua sebagai umat muslim. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu pengetahuan yang mutlak kepada saya dan kita semua serta mengampuni dosa-dosa yang telah ktia lakukan selama ini, serta selalu diberi hidayah agar saya dan kita semua bisa menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam terbebas dari dosa-dosa.
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatu.


Referensi

Al-Qur'anul Kariim
Ila Mata Hadza 'I-Khilaf , Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerjemah Hawin Murtadlo, Cetakan I, 1419 H.

Bekal Penuntut Ilmu


Muqoddimah

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatu.

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menyempurnakan untuk kita agama islam ini dan telah mencukupan untuk kita nikmat-Nya, serta meridhoi Islam sebagai agama kita. Shalawat serta salam sejahtera smeoga tetap terlimpah kepada Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa sallam.

Al Imam Abu Abdillah Sufyan Ats Tsauri rahimahullah, seorang tab'ut tabi'in pernah berkata "Mereka-mereka (para generasi shalafus shalih) dulu tidak mengeluarkan anaknya untuk pergi menuntut ilmu hingga anak-anaknya telah diajar adab terlebih dahulu dan memperbanyak ibadah 20 tahun".


Adab-Adab Menuntut Ilmu 

Diantara adab-adab dalam menuntut ilmu, antara lain adalah

Menyadari bahwa ilmu adalah ibadah
Dengan menyadari bahwa ternyata setiap ilmu pengetahuan yang kita cari adalah bernilai ibadah, maka syarat menjadi sebuah ibadah adalah ikhlas karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan perkara yang menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat yaitu cinta kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam serta merealisasikannya.

Mengenal dengan baik keutamaan (kedudukan) ilmu dan urgensinya
Dengan mengetahui kedudukan ilmu, maka kita akan paham seberapa pentingnya ilmu yang kita pelajari dan tersadar bahwa ternyata ilmu yang paling penting dipelajari diantara semuanya adalah ilmu syar'i yang bersifat fardu'ain.

Berdoa kepada Allah agar mendapatkan taufik dalam menuntut ilmu
Senantiasa berdoa kepada Allah agar mendapatkan taufik dalam menuntut ilmu, serta agar dimudahkan dalam menutut ilmu.

Berantusias untuk berpetualang (ke berbagai tempat) dalam rangka menuntut ilmu
Senantiasa berpergian dalam menuntut ilmu. Adapun hadits yang beredar di lisan kaum Muslimin adalah hadits "Tuntutlah ilmu sekalipun sampai negeri Cina", hadits tersebut tidak shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam.

Tidak mengucapkan salam yang dapat mengganggu proses pembelajaran
Apabila seseorang datang ke suatu majelis ilmu dalam keadaan terlambat, maka yang lebih utama adalah tidak mengucapkan salam apabila akan mengakibatkan terpotongnya mereka dari pelajaran mereka, sedangkan apabila tidak berpengaruh apa-apa, maka mengucapkan salam merupakan suatu kesunnahan. (Dikatakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Al-Fatawa al-Islamiyah, 1/175)

Senantiasa mengamalkan ilmu
Sesungguhnya tidak mengamalkan ilmu adalah salah satu sebab yang dapat menghapus keberkahan ilmu. Sungguh Allah telah mencela orang yang keadaannya seperti itu, dalam firmanNya "Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan." (Qs. Ash Shaff:2-3)

Berperilaku baik dalam menuntut ilmu
Senantiasa berperilaku baik dalam menuntut ilmu, baik kepada para guru, kepada para pelajar yang lebih dulu belajar (senior), kepada yang baru belajar (junior), ataupun kepada teman yang waktu awal belajarnya sama.

Menghadiri majelis ilmu secara kontinu dan tidak bermalas-malasan
Salah satu godaan syaithan adalah membuat manusia malas dalam menghadiri majelis-majelis ilmu. Padahal sejatinya, akan sangat aneh bila kita hanya mengetahui sebuah perkara namun sebagian saja. Contoh dalam hal thaharah (bersuci), akan sangat aneh bila kita hanya mengetahui 1/2 atau bahkan 3/5 bagian saja dari thaharah, padahal hal merupakan fardu'ain untuk dipelajari.

Tidak berpurus asa dan merasa minder
Jangan pernah merasa minder, apalagi berputus asa bila mengalami kesulitan pada ilmu yang dipelajarinya. Sadarlah dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun." (Qs. An Nahl: 78)

Berantusias menghadiri majelis ilmu diawal waktu,d an memanfaatkan waktu dengan baik
Senantiasa berantusias menghadiri majelis ilmu diawal waktu karena akan memudahkan kita dikenali oleh pengajar, juga memudahkan kita untuk bertanya bila ada sesuatu yang kurang dimengerti atau mengajak pengajar untuk berdiskusi setelah majelis ilmu berakhir.

Berusaha mengejar ketinggalan pelajaran yang luput.
Ketika ketinggalan pelajaran, biasakanlah untuk mengejarnya di catatan teman-teman semajelis ataupun langsung ke pengajarnya.

Membuat catatan
Membuat catatan faidah-faidah penting disampul buku atau dicatatan luar agar dapat dikaji ulang oleh penuntut ilmu. Sama halnya ketika kita membeli sebuah kitab (buku), maka hendaklah kita mengumpulkan isinya dalam rangkuman umum.

Tidak memotong (perkataan) guru ketika berbicara
Tidak memotong perkataan guru ketika berbicara, hingga dia selesai dari masalah yang dibicarakannya.

Waspada dari sifat tercela
Waspada dari sifat-sifat yang tercela pada seorang penuntut ilmu seperti ghuluw (berlebih-lebihan), sombong, wahn (cinta dunia dan takut kematian), dan sifat tercela lainnya.

Menerima Kritik dan Nasihat
Tidak menutup kemungkinan kita ini adalah orang yang sangat kekurangan, olehnya selalulah menerima kritik dan nasihat dari orang-orang sekitar dengan tulus (ikhlas) dan bukan basa-basi.

Shalat Sunnah Malam (Qiyamul Lail)
Seorang ustadz pernah berkata dalam majelisnya yang redaksinya kurang-lebih seperti ini "salah satu penguat daripada penuntut ilmu serta para aktivis organisasi adalah shalat sunnah malamnya". Jadi ketika ingin aktivitasnya baik, antusiaskanlah diri anda kepada shalat qiyamul lail.

Senantiasa bersikap ramah tamah
Senantiasa bersikap ramah tamah kepada orang-orang yang ada disekitar, serta selalu berlapang dada, dan mendengar segala permasalahan mereka.

Bercakap-cakap (tentang agama) dan menyampaikan nasihat kepada orang
Senantiasa selalu bercakap tentang ilmu syar'i kepada teman-teman, mendakwahinya, serta memberinya nasihat. Namun selalulah sadar bahwa sebelum menasehati, jadilah orang yang berisi terlebih dahulu. Hakikatnya iyalah sebelum mengisi, maka anda harus terisi.


Khatimah

Wallahu'alam bissawab

Sekian yang kami dapat sampaikan, semoga bermanfaat untuk saya dan kita semua sebagai umat muslim. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu pengetahuan yang mutlak kepada saya dan kita semua serta mengampuni dosa-dosa yang telah ktia lakukan selama ini, serta selalu diberi hidayah agar saya dan kita semua bisa menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam terbebas dari dosa-dosa.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatu.


Referensi

Al-Qur'anul Kariim
Mukhtasar Hilyatu Thalibul Ilmi , Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Penerjemah Muhammad Iqbal A. Ghazali, Cetakan I, 1431 H.
Muntaqa al-Adab asy-Syar'iyyah , Majid Sa'ud al-Ausyan, Penerjemah Abdurrahman Nuryaman, Cetakan I, 1435 H.

Mengenal Bid'ah Lebih Dekat


Muqoddimah

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatu.

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menyempurnakan untuk kita agama islam ini dan telah mencukupan untuk kita nikmat-Nya, serta meridhoi Islam sebagai agama kita. Shalawat serta salam sejahtera smeoga tetap terlimpah kepada Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wallam.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukpan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah : 3)



Pengertian Bid’ah

Asy-Syafi’i, Al-Iz bin Abdussalam, Al-Qarafi, Al-Ghazali, Ibnu Al-Atsir, dan An-Nawawi , Menurut kelompok ini bahwa segala sesuatu yang baru setelah masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam disebut bid’ah, baik yang bersifat terpuji maupun tercela.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’ Al Fatawa bahwa “Bid’ah dalam agama adalah apa yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu perkara yang tidak diwajibkan atau disunahkan untuk mengerjakannya”.

Diantara manusia ada yang berkata bahwa bid'ah terbagi menjadi dua bagian: bid'ah hasanah dan bid'ah qabihah (bid'ah yang baik dan bid'ah yang tercela), dengan alasan yang disandarkan kepada perkataan Umar Radiyallahu 'Anha dalam shalat tarawih "Ini adalah bid'ah yang baik".

Rasulullah Shallallahu Alahi Wa sallam sendiri bersabda "Sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah yang baru, setiap yang baru itu sesat, dan kesesatan berada dineraka" merupakan sebuah peringatan keras kepada segala perkara-perkara yang baru dalam agama. Ini adalah nash dari Rasulullah yang tidak diperkenankan kepada siapapun untuk membelokkannya, yang mengecam bid'ah dan barang siapa yang membelokkannya, maka dia telah mengikut hawa nafsunya.

Adapun shalat tarawih bukanlah sebuah bid'ah dalam syariat, tetapi sunnah yang disabdakan dan dikerjakan oleh Rasulullah secara berjama'ah pada tiga hari pertama bulan Ramadhan. Pada hari ke-4 bulan Ramadhan Beliau Shallallahu Alaihi Wa sallam tidak keluar ke masjid karena takut shalat tarawih menjadi sesuatu yang diwajibkan. Seandainya beliau tidak khawatir untuk diwajibkan, pasti beliau keluar untuk shalat bersama mereka pada malam ke-4 tersebut.

Adapun pada masa Umar bin Khattab Radiyallahu Anha, mereka disatukan kembali dalam bentuk shalat jama'ah yang dipimpin oleh seorang imam yaitu sahabat mulia Ubay bin Ka'ab hingga masjid menjadi ramai. Secara bahasa tindakan ini memang disebut bid'ah karena secara bahasa memang demikian, akan tetapi bukan bid'ah syar'iyyah karena sunnah menanggap tindakan itu tindakan yang baik, seandainya tidak khawatir akan diwajibkan. Adapun bid'ah syar'iyyah adalah bid'ah yang tidak ada dalil syara'nya dalam hal ibadah.


Hukum Bid’ah

Dari Jabir Radiyallahu Anha bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi Wa sallam selalu bersabda demikian apabila beliau berkhutbah "Sesungguhnya perkataan yang paling baik adalah Kitab Allah, jalan yang paling baik adalah jalan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa sallam, ajaran Agama yang paling buruk adalah ajaran yang dibuat-buat, setiap ajaran yang dibuat-buat itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan itu (pelakunya) dineraka." (HR. Muslim, 2/592, no. 867)

Dari hadits Jabir Radiyallahu Anha, dia berkata di dalamnya "Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam mengucapkan hal itu apabila beliau berkhutbah."

Pembagian hukum bid’ah ada empat.

Bid’ah yang haram secara mutlak
Bid’ah yang haram secara mutlak adalah bid’ah yang dapat menyebabkan kekafiran tanpa ada takwil seperti bid’ah jahiliyah yang diingatkan oleh Al-Qur’an dalam firman-Nya,
Allah Ta’ala berfirman “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka ‘Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (Qs. Al An’am : 136)

Begitu juga bid’ah orang-orang munafik yang menjadikan agama hanya sebagai tameng untuk menjaga diri dan harta, bukan karena ketulusan, serta masih banyak lagi bentuk kekafiran lainnya.

Bid’ah Kemaksiatan, tetapi Tidak Menyebabkan Kekafiran
Bid’ah yang termasuk dalam kemaksiatan, tetapi tidak menyebabkan kekafiran atau masih diperselisihkan apakah itu dapat meyebabkan kekafiran atau tidak. Misalnya, bid’ahnya kelompok Khawarij, Murji’ah, dan kelompok-kelompok sesat lainnya.

Bid’ah yang Termasuk dalam Kemaksiatan
Bid’ah yang termasuk dalam kemaksiatan, seperti bid’ah meninggalkan kehidupan duniawi untuk ibadah, membujang selamanya, puasa dengan berjemur dibawah terik matahari, dan mengebiri dengan tujuan untuk memotong syahwat jimak.

Bid’ah yang Makruh
Bid’ah yang makruh misalnya sepertu perkumpulan manusia dimasjid untuk berdoa pada malam Arafah, menyebut para penguasa pada waktu khutbah Jum’at, dan sebagainya. Bid’ah macam ini tidak berada dalam satu tingkat dan tidak pula memiliki hukum yang sama.


Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Bid’ah

Diantara penyebab munculnya bid’ah antara lain adalah :
Tidak tahu cara memahami agama.
Tidak memahami tujuan.
Terlalu berbaik sangka kepada akal.
Mengikuti hawa nafsu.
Mengatakan sesuatu dalam agama yang tidak diketahuinya dan menerima begitu saja perkataan tanpa penyaringan.
Tidak mengetahui sunnah.
Karena mengikuti ayat-ayat mutasyaihat.
Menempuh cara pengambilan hukum yang tidak sesuai dengan cara yang diakui oleh syariat.
Terlalu mengkultuskan orang-orang tertentu.
Terkadang sebab-sebab tersebut menyatu dan kadang pula berdiri sendiri.


Pengaruh Bid’ah Terhadap Masyarakat

Tidak mengherankan jika bid’ah mempunyai pengaruh yang nyata terhadap lingkungan masyarakat yang terjadi bid’ah didalamnya dan tidak mengingkarinya. Diantara pengaruhnya adalah :
Mengikuti Ayat-Ayat Mutasyabihat
Mematikan Sunnah
Perselisihan
Mengikuti Hawa Nafsu
Meninggalkan Jama’ah
Menyesatkan Manusia
Terus Larut dalam Bid’ah dan Tidak Mau Meninggalkannya


Cara-cara Menjaga Diri Dari Bid’ah

Untuk menjaga diri dari bid’ah, kita bisa menempuh beberapa cara yang akan kita sebutkan, diantaranya adalah :

Berpegang Teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, juga Menyebarka dan Menyampaikannya kepada Manusia.
Menjalankan Sunnah secara Individu dan Kelompok.
Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar.
Mengantisipasi Munculnya Bid’ah.


Khatimah

Wallahu'alam bissawab

Sekian yang kami dapat sampaikan, semoga bermanfaat untuk saya dan kita semua sebagai umat muslim. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu pengetahuan yang mutlak kepada saya dan kita semua serta mengampuni dosa-dosa yang telah ktia lakukan selama ini, serta selalu diberi hidayah agar saya dan kita semua bisa menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam terbebas dari dosa-dosa.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatu.



Referensi

Al-Qur’anul Kariim
Al-Bida’ Al-Hauliyyah, Abdullah bin Abdul Aziz At-Tuwaijiry, Penerjemah Munirul Abidin M.Ag, cetakan V, 1421 H.
Mengenal Bid’ah Lebih Dekat, Muhammad Abduh Tuasikal, Pustaka Muslim Yogyakarta, cetakan I, tahun 1435 H.
Wujub Luzumi-s-Sunnah Wa-l-Hadzar Mina-l-Bid’ah, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Rahmat al-‘Arifin Muhammad bin Ma’ruf, cetakan I, Tahun 1422 H.