Perselisihan di Kalangan Penganut Islam


Muqoddimah

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatu.

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menyempurnakan untuk kita agama islam ini dan telah mencukupan untuk kita nikmat-Nya, serta meridhoi Islam sebagai agama kita. Shalawat serta salam sejahtera smeoga tetap terlimpah kepada Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wa sallam.



Fatwa Tentang Perselisihan dan Perpecahan 

Dalam sebuah kesempatan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanyai, "Bagaimana prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah tentang persoalan yang diperselisihkan? Bagaimana standar untuk menyikapi persoalan ini?" 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab :

Prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah mengenai persoalan yang diperselisihkan adalah apabila perselisihan itu bersumber dari ijtihad, dan persoalan itu menyangkut hal yang diperbolehkan berijtihad, maka sebagian dari m ereka bersikap toleran terhadap sebagian yang lain yang berbeda pendapat. Mereka menjadikan perselisihan ini sebagai alasan untuk berpecah belah dan bermusuhan. Orang yang memusuhi saya karena tuntutan dalil, maka pada hakikatnya ia tidak menyelisihi saya. Karena manhaj yang digunakan sama, apakah saya menyelisihnya karena tuntutan dalil ataukah dia menyelisihi saya karena tuntutan dalil. Jadi, kita sama. Perselisihan pendadpat ini masih terus terjadi sejak zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam hingga hari ini.

Adapun persoalan yang tidak boleh diperselisihkan adalah hal-hal yang menyelisishi pandangan para sahabat dan tabi''in. Persoalan-persoalan aqidah yang sebagain besar manusia tersesat darinya dan tidak terjadi perselisihan mengenainya kecuali setelah berlalunya generasi-generasi utama, yakni perselisihan itu tidak tersebar luas kecuali sesudah generasi sahabat. Tetapi, perlu diketahui, bila saya mengatakan sesudah generasi sahabat, bukan berarti semua sahabat harus sudah wafat. Kita menyebut generasi selama kebanyakan generasi itu masih hidup.

Karena kalian mengetahui, bahwa Allah Ta'ala telah menjadikan ajal manusia itu sususl menyusul. Misalnya bila kita mengatakan, 'sesungguhnya generasi sahabat tidak berakhir dsehingga tidak ada seorang sahabatpun yang hidup', berarti kita telah menyebrangi banyak masa tabi'in. Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan "Suatu generasi dinilai telah lewat apabila kebanyakan orang yang menjadi bagian generasi itu telah lewat". Misalnya, bila kebanyakan sahabat telah wafat, sehingga yang tinggal hanya puluhan atau ratusan sahabat saja, maka berarti zaman mereka telah berakhir. Demikian pula masa para taibi'in. Juga tabi'ut tabi'in.

Jadi, generasi-generasi utama telah lewat, tanpa ada perselisihan aqidah sebagaimana yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Orang-orang yang menyelisihi kita dalam persoalan aqidah, maka mereka itu menyelisihi paham aqidah para sahabat dan tabi'in. Mereka itu harus diingkari dan perselisihan mereka tidak bisa diterima. 

Adapun dalam persoalan-persoalan yang memang telah diperselisihkan sejak zaman sahabat, dan dalam persoalan tersebut dibolehkan ijtihad, maka perselisihan semacam ini pasti tetap ada. Nabi Shallallahu Alaihi Wa sallam bersabda "Jika seorang hakim memutuskan hukum, lantas ia berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala. Tapi apabila ia berijtihad, lantas keliru, maka ia mendapat satu pahala".

Inilah standarnya. Jika ada orang mengatakan, "Apakah perselisihan menyangkut sifat-sifat Allah Ta'ala termasuk perselisihan yang dibolehkan?" Maka jawbannya 'tidak'. Karena perselisihan ini sudah berada diluar manhaj para sahabat. Para sahabat tidak ada yang memperselisihkan persoalan sifat-sifat Allah. Semua mengakui bahwa sifat Allah itu benar adanya sesuai dengan hakikatnya, tanpa menyerupakan sifat-sifat itu. Bukti bahwa mereka mengakui hal itu adalah tidak adanya riwayat yang menceritakan adanya perselisihan diantara mereka mengenai penafsiran ayat-ayat dan hadits-hadits yang berbicara tentang sifat-sifat Allah. Jika tidak terdapat riwayat yang menceritakan perselisihan mereka mengenai penafsiran ayat-ayat hadits-hadits tersebut, maka ini berarti mereka meyakininya, karena Al Qur'an menggunakan bahsa Arab dan As Sunnah juga berbahasa Arab, sedangkan para sahabat memahami bahasa Arab.

Jika tidak ada riwayat yang menceritakan dari mereka bahwa mereka menyelisihi zhohir makna ayat atau hadits, maka kita tahu bahwa mereka meyakini zhohir ayat dan hadits tersebut. Karena itu, kita mengingkari siapa saja yang memiliki pendapat yang bertentangan dengan madzhab para Salaf persoalan sifat-sfat Allah atau katakanlah dalam seluruh persoalan iman. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun buruk. Setiap orang yang menyelisihi manhaj para sahabat dalam keenam persoalan ini, maka kita akan mengingkarinya dan tidak menerimanya.

Perselisihan pendapat akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan yang diperselisihkan itu telah dikaji secara mendalam.


Khatimah

Wallahu'alam bissawab
Sekian yang kami dapat sampaikan, semoga bermanfaat untuk saya dan kita semua sebagai umat muslim. Semoga Allah selalu menambahkan ilmu pengetahuan yang mutlak kepada saya dan kita semua serta mengampuni dosa-dosa yang telah ktia lakukan selama ini, serta selalu diberi hidayah agar saya dan kita semua bisa menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Sesungguhnya kebenaran datang dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam terbebas dari dosa-dosa.
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatu.


Referensi

Al-Qur'anul Kariim
Ila Mata Hadza 'I-Khilaf , Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Penerjemah Hawin Murtadlo, Cetakan I, 1419 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar